Wednesday, April 14, 2010

MENJADI MISKIN



Seringkali saya berjalan menyusuri lorong-lorong pemukiman kumuh di Jakarta. Gang-gang becek, MCK umum dengan sanitasi seadanya, anak-anak yang berkeliaran tanpa alas kaki, pedagang makanan yang meraup uang kertas dengan tangan yang sama, bau pesing di sudut pagar, sampai mencuci piring di aliran sungai yang sama dengan pembuangan tinja.



Jujur, saya senang sekali bersosialisasi dengan masyarakat rural ataupun penduduk urban yang terpuruk di daerah kumuh. Beberapa hari tinggal di pemukiman padat di sana membuat saya mengerti bagaimana mereka menghadapi hidup, bermasyarakat, berinteraksi, dan berbicara dalam kehidupan sehari-hari. Mereka terbiasa berteriak, berucap kata kotor, vulgar, cenderung menyerang, dan sedikit agresif. Sedikit saja ada wanita cantik yang lewat, dapat dipastikan ada celetukan-celetukan nakal yang terlontar. Eksploitasi seks secara verbal adalah hal biasa. Tongkrongan perjudian, dangdut koplo, dan mabuk adalah bagian hidup.



Wanita berpakaian daster dan keluar rumah adalah lumrah. Anak kecil berjalan tanpa alas kaki adalah wajar. Mencukur bulu ketiak di depan pintu rumah adalah biasa. Menjemur pakaian dalam di depan rumah bukan hal yang tabu. Berhutang ke tukang sayur yang tiap pagi lewat adalah lumrah.



Menjadi miskin adalah bukan pilihan. Jika bisa memilih, tentu saja mereka dengan senang hati memilih tinggal di komplek Pondok Indah, beralaskan lantai marmer dan setiap hari kulit dimanjakan udara dari Air Conditioner. Makan siang di Burger King, lalu Sushi Tei menanti untuk makan malam. Tapi menjadi miskin bukan pilihan. Saya mengerti itu. Menjadi kasar bukan pilihan. Menjadi jorok juga bukan pilihan.



Adalah keterpaksaan yang akan menjadi alasan. Adalah beban hidup dan ekonomi yang akan menjadi sebuah deskripsi akan sebuah pertanyaan. Adalah sebuah garis hidup yang akan menjadi metafora sebuah takdir.



Saya tinggal di sana beberapa hari juga bukan tanpa alasan. Adalah rasa bersyukur yang harusnya muncul kalau malam ini saya masih bisa tidur nyenyak di atas kasur spring bed empuk ditemani sellimut pink tebal lembut dan dinginnya air conditioner. Adalah rasa terima kasih tanpa batas yang harusnya muncul kalau besok pagi saya masih bisa ngopi dan nyicipin cheese quiche di Starbucks, sementara di luar sana...untuk melawan lapar dan lambung yang berteriak saja harus mengais, menunggu limbah dari pintu belakang restoran.



Ketika melihat ke atas...saya berharap. Ketika melihat ke bawah...saya bersyukur.

Adalah sebuah keberuntungan jika sekarang saya tetap menjadi manusia biasa yang menikmati hidup dalam keseimbangan. 



Saya menikmati waktu saya di angkot yang panas sesak dan di pesawat yang dingin dan mewah, saya menikmati makan siang saya di warteg dan di Burger King, saya menikmati sepatu 20ribuan pinggir jalan dan adidas classic kesayangan, saya menikmati perjalanan ke daerah kumuh di jakarta dan keluar negeri, saya menikmati tshirt 12ribuan di pinggir malioboro dan hangten dari singapore, saya menikmati bermain dengan anak kecil di pinggir kali ciliwung, saya menikmati hangout dengan teman di supermall, saya menikmati teknologi gadget apple dan internet, tapi saya tidak boleh lupa bagaimana dulu saya mengerti 'qwerty' saat mengenal mesin ketik.



Saya mengerti, menjadi miskin adalah bukan pilihan. Tuhan menciptakan kemiskinan juga bukan tanpa alasan. Saya yakin semua ada perhitungan yang Maha Tepat. Adalah rasa BERSYUKUR yang akan menjadi raja justru ketika naluri ekonomi manusia tidak terpenuhi dengan sempurna. Itu saja.

Read more...

  © Free Blogger Templates Blogger Theme II by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP