Tuesday, December 2, 2008

Membaca Isyarat Tuhan...

Saya belum pernah bertemu dengan Tuhan.
Tapi saya meyakini...Tuhan begitu dekat.
Tanpa pernah lengah mengawasi setiap tindakan dan isi hati.
Tuhan terlalu dekat untuk dikelabuhi.

Ketika saya bahagia...saya selalu ingat Tuhan.
Tapi itu tidak terlalu lama.
Namun ketika saya dalam kesedihan yang amat sangat.
Saya tidak henti-hentinya merengek...
"Tuhaaaaan....kenapa begini? Tuhaaaaan...kenapa begitu?"

Mungkin Tuhan sudah bosan mendengar rengekan saya.
Sayapun sudah cukup malu untuk meminta ini itu.
Walaupun saya tahu...semuanya terlalu mudah untuk Tuhan untuk memutuskan.
Cukup dengan bersabda.
Maka terjadilah.

Saya selalu mencari cara bagaimana berkomunikasi dengan Tuhan.
Pakai email....nggak mungkin.
Pakai sms....nggak mungkin.
Pakai telepon....nggak mungkin.

Berdoa setiap selesai sholat....semakin terasa searah.
Karena isinya nggak jauh dari minta ini minta itu.
Rasanya seperti Tuhan itu 'bisu'.
Saya pun mulai lelah........

Pasrah......

Tapi pasrah bukan sekadar apatis...
Pasrah mengajarkan saya sesuatu.
Pasrah adalah dimana saya berada di titik terendah sebagai manusia...dan menyerahkan diri ke sesuatu yang tertinggi.

Saya terdiam.
Saya berpikir.
Saya mulai mengerti.
Tuhan sedang mengajarkan saya sesuatu.

Tuhan tidak seperti guru Sekolah Dasar.
Yang mengajarkan segala sesuatu melalui media papan tulis.

Tuhan selalu punya cara memberi tahu....
Bahwa syahadat, sholat, puasa, sedekah, dan berhaji saja tidak cukup menjadikan
saya sebagai manusia yang utuh.

Tuhan selalu punya cara.
Bagaimana membuat saya mengerti reaksi-Nya.

Iqra...

Bacalah...

Read more...

Generasi Fast Food


Jaman udah berubah.
Orientasi hidup sebagian orang mulai bergeser.
Semua sibuk.
Beberapa merasa tertekan.
Uang pun dijadikan alasan.

Gue nggak pernah paham dengan istilah
"terpengaruh arus globalisasi".
Terpengaruh yang bagaimana?

Yang gw tau, gue sekarang hidup di zaman FAST FOOD.
Serba instant.
Serba mudah.
Namun juga terlalu tergesa-gesa karena tertata oleh
kepraktisan.

Makan siang di Burger King, mulai meninggalkan
warteg sego pecel sebelah kantor.
Pulang naik taxi, karena gak tahan dengan
sempitnya kereta jabotabek.
Belanja di hipermarket, karena merasa makin gak nyaman
dengan pasar tradisional yang bau.

Padahal....
Bau tempe mendoan dari 'opened kitchen' si mbok,
suara pengamen tuna netra dengan musik minus one yang seadanya,
memandang pedagang pasar dan pembeli yang pantang menyerah menawar harga...
justru menawarkan 'keromantisan' yang lebih.

Memaksa gue untuk tetap melihat, mendengar, dan merasa...

Melihat.
Mendengar.
Merasa.

Melihat.
Mendengar.
Merasa.

Peka.

Nggak seperti makan di Burger King.
Datang, pesan, makan, lalu pergi.
Cuek sama Whopper yang tersisa,
atau chilli sauce yang terbuang karena ambil terlalu banyak.

Ah....
generasi fast food...

Read more...

  © Free Blogger Templates Blogger Theme II by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP